Wednesday, January 4, 2017

Maknai Setiap Detiknya

Wednesday, January 04, 2017


Senang sekali bisa diberi kesemapatan menulis setelah beberapa hari ini disibukkan dengan beberapa agenda yang menurut saya sangat keren. Mungkin istilah 'disibukkan' bukan istilah yang tepat, hanya saja manajemen waktu dan manajemen diri yang masih perlu dikatamkan lagi.

Well, ini adalah hari pertama saya di rumah pada liburan panjang semester lima. Tapi sepertinya saya tak bisa sepenuhnya di rumah, mengingat sebagai mahasiswa semester akhir dituntut untuk wisuda tepat waktu... Saya tak ingin wisuda terlalu premature, apa lagi postterm, aterm saja harapannya. Untuk beberapa agenda yang sebelumnya saya katakan 'keren', itu memang benar adanya. Tapi ini definisi keren menurut penulis. Sayangnya belum sempat saya tuliskan. Baik, untuk teman saya yang disana, tunggu ya rilis post selanjutnya. Tenang, saya sudah menggantungkan niat untuk menulis itu, ingatkan saya terus ya. Setidaknya saya juga ingin berbagi cerita dengan yang lain. Mungkin saja ada manfaatnya, jikalau tidak, itu sudah cukup membuat penulis senang bisa meriwayatkan perjalanan ini untuk dinikamti.

Cukup ya, prolog yang kurang begitu sistematis ini. Maafkeun.

Siang tadi, saya sampai di tanah kelahiran. Perbedaan begitu terasa, mulai dari keramaian, suasana, dan beberapa bahasan yang orang-orang disini obrolkan. Barangkali perjalanan adalah cara baru saya untuk memahami dan belajar hal baru. Mengingat di semester depan saya sudah tidak mengambil SKS matakuliah di kelas lagi. Perjalanan tadi sungguh kentara menyenangkan, bayangan untuk pulang naik kereta pun akhirnya tersampaikan. Perjalanan sekitar tiga jam ini tak begitu terasa ditemani teman ngobrol yang ternyata panitia International Conference di Malaysia satu bulan yang lalu. Sungguh dunia begitu sempit ya. Ngobrol ngalor-ngidul tak bersimpul, tapi setidaknya tahu beberapa hal baru. Perjalanan ini juga tak terasa sendiri sambil ditemani buku Emha Ainun Najib yang berjudul Sedang Tuhan pun Cemburu. Bacaan ini menambah perspektif baru tentang hidup, dan begitu dalam merefleksikan betapa panjang pertanyaan atas hidup.

Perjalanan dengan kereta jarang sekali saya lalui. Senang rasanya naik kereta. Kedengarannya seperti kekanak-kanakan ya. Naik kereta sembari ditemani buku seperti kolaborasi untuk sebuah ketenangan. Anggap saja ini suatu kesemapatan langka untuk mendapat ketenangan itu, jadi saya menikmati betul perjalana pagi tadi.

Random, bingung apa yang mau saya tuliskan. Mungin ini yang dinamai block writer. Tapi ada beberapa hal yang patut untuk dipetik. Setelah perjalanan dan sampai di stasiun terakhir, saya menaiki bus untuk sampai di terminal dekat rumah. Saya mendengar obrolan seorang nenek dan ibu paruh baya. Mereka membicarakan jaminan kesehatan yang kurang sesuai dengan harapan. Saya sebagai calon praktisi kesehatan yang sedikit tahu, dan memang ada mata kuliah khusus tentang jaminan kesehatan, saya mereasa tertarik untuk mendengar obrolan itu. Maafkan diri ini, jika saya menguping. Tapi mungkin tidak dibenarkan juga jika dibilang menguping, pasalnya mereka mengobrol dengan suara yang keras. Intinya saya merasa dapat menyerap apa aspirasi mereka, antara mereka paham betul atau tidak, mereka membahas sekenanya. Saya hanya bisa manggut-manggut sambil mendengarkan. Sepertinya pendekatan seperti ini sedikit banyak cukup efektif untuk melihat kompleksitas yang ada di masyarakat secara langsung. Intinya mereka kurang sosialisasi dan prasangka negatif mereka masih cukup kental untuk merefleksikan ketidakpercayaannya pada birokrasi yang ada. What should I do guys? Sebagai seorang yang ada di tempat, saya menyadari dan belum cukup tahu untuk masuk dalam perbincangan asik mereka. Alhasil saya cukup mendengarkan saja, dan mencoba berfikir entah berfikir apa. Kepala saya penuh dibuatnya. Dan lagi-lagi saya menyadari diskusi saya belum cukup banyak untuk membuahkan hal yang solutif di situasi itu.

Sampai di terminal, kembali saya jumpai suatu hal dengan seorang pedagang asongan. Sembari menunggu jemputan, saya merasa empati sehingga memutuskan untuk membeli kacang bawangnya. Beliau sudah tua, dagangannya masih banyak. Karena ATM saya terblokir, jujur saya hanya membawa kurang lebih 20ribu saja, dan 10ribu untuk ongkos bis. Tinggal lah 10ribu dan saya berniat beli dua ribu. Saya beri asongan itu dengan uang lima ribua-an. Sejenak pedagang itu memandangi uang yang saya beri. Singkat pemikiran ini hanya menyangka kalau uang saya robek atau ada yang aneh. Lalu si penjual bertanya "Mbak 5000-an ya?". "Iya pak", jawab saya. Sedih, pedagang asongan ini antara sudah tua sehingga susah memahami mata uang atau memang tidak tahu nominal yang ada. Lalu bagaimana nasibnya ketika mata uang dengan desain yang baru sudah beredar sampai sini? Semoga tidak bingung lagi ya pak, bedakan mana yang 50 ribu-an atau yang lima ribu-an. :)

Perlu peyadaran bahwa banyak kaum marjinal atau termarjinalkan di negeri ini. Solusi, iya solusi itu yang dicari. Boleh saya sampaikan kutipan dari Tan Malaka yakni “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Mungkin istilah cangkul dalam tulisan ini kurang ada kaitannya, tapi untuk 'melebur dalam masyarakat' sebagian dari kebanyakan kaum intelektual enggan untuk terlibat di dalamnya. Lalu bagaimana solusi itu akan muncul ketika belum sempat masuk dan melebur dalam dinamika masyarakat? Diri ini masih perlu banyak sekali belajar. Mari berpikir bersama, ide iya ide. Semua bisa berawal dari ide dan niat baik untuk memberikan sedikit sumbangsih atas demikian itu. Sociopreneurship, itu yang sedikit saya dalami belum lama ini. Menjadi seorang CEO bukan sekedar keren-kerenan, tapi suatu manajemen puncak dalam memonitor tersampaikannya kebaikan. Keren. Siapa pula yang tak ingin berperan demikian, saya pun ingin. Semoga niat baik bisa terealisasikan. Dan mungkin itu salah satu dari cara untuk menjawab permasalahan yang ada, kita semua bisa memulai dengan cara masing-masing.

Selamat berbenah diri, lagi, dan lagi. Perjalanan di awal tahun ini menuai banyak hal. Semoga hal yang ingin dicapai di tahun ini bisa segera tercapai. Aamiin.

Cilacap, 4 Januari 2017
06:06 PM

Pict source: www.deviantart.com