Sunday, September 1, 2019

Aku Bukan Produk Gagal

Mt. Prau, Wonosobo

Ketika semburat jingga di langit begitu memesona, sebut saja Gadis, dia sibuk mempertanyakan pada diri sendiri. Begitu kentara seorang yang dipercayai akan banyak hal baru saja menyebutnya sebagai produk gagal. Padahal beberapa menit lalu seolah-seolah beban yang dipanggulnya selama beberapa waktu terasa ringan karena diceritakan dengan gamblang meskipun dengan terbata-bata. Tak bisa dipungkiri, hanya sebatas kedipan mata situasi berubah 180 derajat. 

"Yah kamu itu produk gagal," katanya dengan nada seolah-olah itu adalah kalimat biasa yang lumrah diucapkan kepada siapa pun. Seketika itu juga Gadis terhenyak, untuk beberapa detik nafasnya tertahan, dan merasa seperti ada palu yang mengenai ulu hatinya. Sakit, itu yang dirasakan. Alih-alih bercerita keluh kesah untuk mencari solusi tetapi malah mendapat judging yang kurang mengenakan hati.

Asal mulanya dilemparnya kalimat 'produk gagal' yaitu dengan membandingkan si Gadis dengan capaian-capaian orang sebayanya sesuai dengan standar si empunya kalimat. Kasarannya "Sudah umur segini kenapa kamu ngga ada ambisi buat belajar agama lebih banyak sih, kamu kebanyakan ngejar dunia!" Begitulah spekulasi yang diambil si Gadis. 

Lembayung di langit mulai memudar demi menyambut malam. Gelap, begitu  juga yang dirasakan Gadis, lebih tepatnya pikiran dan hatinya yang semakin gelap. Rupanya dia salah mempercayai seseorang, dia remas jemari tangannya kuat-kuat, menahan tangis. "Memang banyak yang sudah jadi hafidz atau hafidzah, sengaja menahun belajar agama, menahun berdakwah, sedangkan aku bertahun-tahun apa kabar? Sudah melakukan apa?" tanyanya pada diri sendiri hingga tangisnya pecah tepat saat matahari berpamitan pada petang. Sementara Gadis masih terdian dan semakin tergugu. 

Dengan suasana hati yang payah, Gadis mencoba melewati hari-harinya dengan baik. Tersenyum dan tertawa hanya tampak pada lapisan luarnya. Kalimat 'jahat' itu masih terngiang dalam dirinya kemana pun dia pergi. Gadis menjadi lebih banyak diam, menutup diri, dan perlahan dirinya tidak begitu percaya diri. Seperti biasa, setelah menghabiskan beberapa buku, Gadis mulai bosan dan pikirannya kembali pada kalimat 'jahat' tempo hari. "Aku sadar aku bukan siapa-siapa, dibanding mereka dengan segala kemuliaan dirinya, dengan segala capaian, dan dengan serba-serbi yang ada pada mereka. Baik, aku mengerti," katanya lirih di depan cermin sambil sesekali mengusap pipinya. 

Krisis kepercayaan diri dan merasa tidak pentas selalu mengintai Gadis. Sejauh mana pun kakinya melangkah, rasa itu selalu mengikutinya. "Bukankah ujub (merasa dirinya wah) itu ngga baik ya? Dan kenapa orang lain direndahkan karena merasa memang orang itu rendah di bawahnya? Iya itu kamu Dis, orang rendah itu," begitu Gadis berdialog dengan bayangan di dalam cermin, dirinya. Sejauh ini Gadis tak begitu mengerti dirinya sendiri, kalimat 'jahat' itu, dan kenapa dia harus berfikir berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia hanya beranggapan, 'bukankah setiap orang produk terbaik-Nya' tak ada namanya produk gagal atau orang tak berguna. Semua mempunyai peran masing-masing pada takdir dunia yang saling berkelindan. "Aku bukan produk gagal!" begitu mantap Gadis mengucapkan pada dirinya. 

Bukan hitungan hari, bahkan perlu berminggu-minggu hingga Gadis menyadari setiap orang adalah spesial. Dinginnya air wudhu mulai membawa kesegaran baru pikirannya, berusaha mengabaikan anggapan kalimat 'produk gagal' yang melabeli dirinya. Dibuatlah target dan capaian baru dalam hidupnya, "belum terlalu terlambat," pikirnya. Meski begitu nyata, orang akan melihat seseorang dari sudut pandangannya. Tak lagi risau dan tak lagi bimbang, Gadis mulai membentuk pertahanan diri bahwa dirinya tak akan mempu memenuhi nilai sempurna, untuk menciptakan hasil penilaian orang dengan sudut pandangnya masing-masing.

No comments:

Post a Comment